Aryan (A Westlife Fanfiction)
“Aku Sam, dokter muda dari Inggris. Haha, aku senang dengan pekerjaanku saat ini, aku tak akan ragu ragu menyombongkannya pada setiap orang yang tak berhasil jadi master dokter di usia tiga puluh tahun. Apalagi aku sudah berhak ditugaskan ke luar negri, ke tempat yang tak terlalu terjamah oleh dinas dinas kesehatan. Besok aku akan ke Sligo untuk penyuluhan, kemudian pergi ke sebuah desa kecil dengan penduduk yang masih primitive. Aku tak sabar untuk melakukannya.”
Sam Wisley menutup buku birunya dan mengetuk ngetuk pulpen ungunya ke meja. Pandangannya menuju ke sebuah pigora kecil dengan gambar orang tuanya, sedang berpelukan dengan senyum lebar yang tulus. Sam tersenyum, berdiri ,kemudian berjalan kea rah tempat tidur.
Keesokan harinya Sam terbangun –itu bagus- , dan dengan setengah sadar ia berjalan ke kamar mandi, menyikat giginya dan mengaca. Bayangannya tampak masih alami, seorang cewek berkulit putih dengan rambut pirang dan mata biru.
“Aku siap!”, seru Sam dengan nada kartun favoritnya.
Ia berjalan melalui koridor hotel bintang tiga yang masih bersih. Ia menenteng tas seberat lebih dari sebelas kilo berisi buku buku kedokteran dan alat alat kesehatan. Untuk ukuran seorang dokter, Sam itu benar benar tak tau caranya bertahan hidup di negri orang. Tapi Sam tak peduli, ia bisa akrab dengan masyarakat disana, yang kemudian akan memberinya baju hangat khas Irlandia, atau apalah itu.
Setengah berlari ia menycegat pintu lift yang nyaris tertutup. Ada seorang pria di sampingnya, berjas dan ngganteng. Sam menatap ragu pada pria tersebut.
“Pagi.”, sapanya kalem.
Pria itu hanya mengangguk dan menggerang.
“Dasimu bagus, dipilihkan pacar?”
“Aku lagi nggak punya pacar.”
“Ngga punya pacar? Yakin? “, Sam menatap pria itu dari bawah hingga keatas, tak menemukan satu sisipun yang tak sempurna. Dia ngganteng, tubuhnya atletis, dan pasti name tagnya; dia seorang boss.
“Jangan ngerayu deh.”, katanya, berjalan menjauhi Sam, “aku punya penyakit iatrophobia.”
Pintu lift terbuka pada lantai dua dan pria itu berjalan keluar. Sam menyipitkan matanya melihat boss itu pergi. Hanya satu hal yang Sam ketahui tentang pria tersebut. Namanya Louis. Louis Walsh.
“Nggak ada ucapan selamat tinggal, tak sopan sekali”, gumam Sam.
Pintu lift tertutup dan Sam menutup mata; mencoba mengingat ingat apa yang lupa dibawanya. Passport, surat ijin, obat obatan. Sam membuka mata dan lift kembali terbuka. Diangkatnya lagi tas superbesar miliknya keluar.
Setelah checkout yang singkat Sam mencegat taksi kuning dengan ibu jarinya.
“Ke bandara.”
“tunggu.”, sahut Sam sebelum supir taksi menginjak gas, “berapa?”
“Duapuluh poundsterling, ditambah dua pound kalau kau muntah.”
Sam menggerak gerakkan jarinya, “nggak kemahalan tuh? Limabelas saja ya?”
“Nggak!”, sahut supir taksi, “ini taksi, nona; nggak ada tawar menawar. Kukira semua dokter punya otak yang sering diasah. Atau jangan jangan nametagmu itu palsu.”
“Aku masih baru, uangku masih sedikit”, Sam mendesah, “kumohon.”
Sam menatap supir taksi tersebut, berharap ia bisa mendapatkan potongan harga. Pria supir taksi itu menyerah, “baiklah, tujuhbelas poundsterling, ditambah satu pound kalau kau muntah.”
“Aku nggak bakal muntah.”
Perjalanan tak begitu mulus di London, tak seperti biasanya. Sam duduk bersandar pada jendela, tatapannya tertuju pada pohon pohon yang seolah olah berjalan ke belakang. Dan kerumunan orang banyak; beberapa memegang es krim, handphone, secangkir kopi, dan tak sedikit pula orang orang gila yang hanya pakai celana dalam, memakai earphone dan jogging pagi di sekitar bundaran kota.
Sam terkikik menontonnya.
“Memang kamu mau pergi ke mana, miss?”, kata supir taksi tersebut.
Sam menoleh, “ehm, aku Wisley. Aku akan pergike Irlandia.”
“Oh, Miss Wisely akan berlibur.”, sahut pria tersebut,” Omong omong, aku Thomas, aku juga supir taksi baru.”
“Aku? Oh, nggak Mr. Thomas. Aku nggak berlibur, kau tau. Ada tugas disana, katanya aku akan dikirim di desa terpencil di Irlandia. Dua tahun disana dan aku akan dapat gelar ‘master dokter’ sungguhan.”, jelas Sam, dengan mata yang disipitkan, “sungguhaaaaannnn.”
Mereka terus bercakap cakap sampai akhirnya mereka sampai di depan koridor utama bandara. Thomas mengangkat koper superbesar milik Sam, dan kemudian mengikuti Sam menuju koridor utama.
“Okay, terimakasih Mister. Sampai ketemu dua tahun lagi.”, kata Sam sambil melambaikan tangannya kelangit, “aku akan sangat merindukanmu, nanti!”
“AKU TAK PEDULI!!”, jerit Thomas dari kejauhan.
Sam berbalik dan mengangkat kopernya.
Beruntung sekali Sam datang tepat pada waktunya. Kadang ia bisa terlalu dini untuk datang, atau terlalu terlambat. Ia kasihan terhadap orang orang yang selonjoran di kursi bandara, bahkan sampai membawa tenda, atau Koran. Beberapa lainnya menendang tempat sampah, berteriak teriak; karena uangnya ludes dan nggak bisa kemana mana. Haha, masa lalu yang menyenangkan; pikir Sam.
Pesawat datang, dan Sam masuk kesana, membawa tasnya yang satu lagi; berisi buku catatan dan telepon genggam, beberapa alat rias dan makanan kecil.
Sam mengaduk tasnya dan mengeluarkan catatan biru kerdil dan pulpen ungu.
Senin, 23 Februari 1985
Sekitar pukul 01:57 p.m. Sejam setengah setelah keberangkatan
Tadi aku bertemu dengan seorang pria berjas bernama Louis walsh, dan seorang supir taksi bernama Thomas. Mereka dua manusia yang sangat berbeda, menurutku.
Louis orangnya cuek. Dia ngganteng sih, kaya, tapi cuek. Umurnya kayaknya sepantaranku, sekitar 3 atau 4 tahun lebih tua dariku.
Sedangkan Thomas. Dia pendiam. Haha aku bercanda. Dia lucu sekali, tadi dia bilang dia akan merindukanku saat aku di Sligo nanti.
Bentar, pesawat bakal landing.
Pesawat tiba di Sligo Airport. Sam antri untuk turun dengan beberapa orang tua dibelakangnya. Sampai akhirnya ia turun dan mengambil barang barangnya.
Sam membawa koper dan tasnya, berjalan melewati kursi kursi bandara; mencoba mencari orang bernama Michael. Menurut catatannya, Michael adalah orang berkulit hitam, rambutnya cepak agak berantakan, sedikit pendek, dan pakai kacamata.
Michael Bandet berdiri di depan café kecil di sebelah ruang loket, membawa kertas lebar bertuliskan Sam Wisley.
Sam menemukannya dan segera berlari kearahnya, “Kau pasti Michael Bandet. Master dokter, oh ya ampun aku nggak tau bakal jadi apa aku kalo aku nggak ketemu kamu.”, sahut Sam tersenyum.
“Dan kau pasti si centil Samantha. Aku suka dokter dokter muda disini. Ayo ikut aku.”, kata pria tersebut, “sini aku bawakan kopermu.”
Sam mengikuti master dokter itu dengan hati gembira. Tak ada kegembiraan yang lebih daripada saat ini. Sampai akhirnya Michael membukakan pintu mobil dan Sam melihat lebih dari ratusan anak kecil disana, kotor, dan kelaparan.
“Mereka anak anak terlantar dari pantai pantai di sekitar Irish. Kami mengumpulkannya kemari. Aku ingin tau mereka berasal dari mana. Dan tugasmu, adalah mengetahuinya.”
“Berapa lama aku akan disini?”
“Kau akan berada disini selama ,mungkin setengah hari, kemudian orang orang itu”, Michael menunjuk kea rah mobil jeep dengan banyak orang kekar didalamnya, ”akan membawamu kesana.”
“Jadi aku hanya mencari informasi tentang mereka?”
“Sekaligus mengajarkan mereka tentang ilmu pengetahuan, caranya hidup bersih … mirip kayak penyuluhan di sekolah sekolah inggrismu itu,”
Sam mengangguk angguk tanda mengerti.
Setelah 17 jam pengajaran tiada henti, Sam naik jeep hitam bersama kopernya. Setelah berdoa berkali kali tadi, Sam sudah siap mental. Tinggal bagaimana ia harus bertahan untuk duduk di jeep untuk lebih dari 3 jam.
Disampingnya ia sudah bersama seorang gadis kecil. Ia membawa sebuah guci, berisi sebuah bola plastic. Ia berkata bola tesebut akan diberikan pada adik laki lakinya.
“Tadi siapa namamu nak?”
“Emma Feehily.”, sahut gadis itu malu malu.
“Dan bola itu, akan kau berikan pada adikmu kan? Bisa kau beritahu siapa namanya?”
“Markus”
Comments
Post a Comment
Komentar anda adalah suatu yang berharga ...