Markus ternyata suka bola yah …”, Sam tersenyum, memandang bola kuning cerah didalam guci tersebut.
Emma menggeleng dan menyentak, ,”Mark kecil nggak tau bola itu apa. Makanya aku mau kasih tau mark. Biar mark bisa main sama aku.”
Sam lupa bahwa desanya Emma itu benar benar primitive; belum ada permainan modern di sana. Sam hanya bisa mengangguk dan membelai Emma. Dia heran mengapa pemerintahan saat ini sungguh tega melakukan hal ini. Mengadakan pembangunan besar besaran di kota kota besar, dan tidak mempedulikan wilayah wilayah yang terpencil seperti desanya Emma.
Beberapa jam kemudian, jeep hitam tersebut menemui hutan hijau yang benar benar sangat lebat. Semak semak duri yang tumbuh tak beraturan, batu batu penghalang yang superbesar, dan pohon pohon besar yang dilapisi oleh lumut.
Sam menyipitkan matanya dan mencondognkan tubuhnya kedepan.
“Emma, kamu yakin desamu itu dibalik hutan ini?”, Sam berkata.
Emma mengangguk pasti, lalu segera lompat dari jeep, “jalan kaki aja kak, ntar bisa nyampe kok.”
“Nggak bisa masuk kalau bawa jeep.”, supir didepan menggeleng pasrah.
Memang benar, yang mereka temui disana bukan lagi jalan beraspal yang lebar. Hal yang harus dilewati mereka adalah semak belukar dengan pohon pohon raksasa berdimpitan di atasnya. Bahkan nggak ada jalan setapak yang bebas dari batu.
“Bawa koperku, kita bakal jalan kaki.”, kata Sam memberi perintah.
Beruntung sekali aku ini, gumam Sam. Dirinya bersyukur karena masih memakai sepatu kat, bukannya sepatu hak tinggi yang biasanya dipakai dokter dokter gadungan di rumah sakit gadungan, dan ia juga bawa topi bundar pemberian ibunya saat ulang tahunnya yang ke duapuluh. Salah satu dari orang orang kekar itu membawa koper supergede milik Sam, “kopermu miss, baunya luar biasa.”
“Trus..??”
“Bisa diilangin nggak?”
Sam mengerlingkan matanya dan segera melangkah masuk ke dalam semak semak; mengikuti Emma yang masih memeluk guci berisi bola kuning untuk adikknya.
Jalanan yang ditempuh Sam lebih keren daripada jalan yang harus dilalui Sam waktu ia berkemah dulu; banyak batu batu besar, 4 sungai kecil yang harus dilewati, dan tanaman tanaman duri yang menyakitkan. Sam nggak habis pikir gimana caranya anak berumur 8 tahun bisa melewati rintangan ini.
Sam bahkan sudah digigit 13 macam serangga, dan salah satunya nyamuk malaria. Sam tidak yakin apakah dia bisa bertahan hidup di desanya Emma nanti.
“IItu … udah nyampe.”, sahut Emma –akhirnya- ,menunjuk ke arah bangunan bangunan sederhana dengan orang orang yang super kumal, kemudian berlari dan berteriak, “markuss!! Sinih kakak bawain apa buat kamu.”
Orang orang disitu tampak terkejut dengan kehadiran Sam dan kawan kawannya. Beberapa ibu membawa masuk anaknya ke dalam rumah, beberapa pemuda sembunyi sembunyi di balik jerami, dan pria pria disana membawa tongkat berujung lancip, bergerak mendekati Sam.
Sebenarnya Sam ingin minta bantuan pada Emma, sebelum pada akhirnya Emma berlari masuk ke dalam rumah jerami dan meninggalkan mereka.
“Kami datang bukan untuk berkelahi, Mister.”, sahut Sam memulai.
Tetua disana berlari mendekati Sam dan mengangkat tongkatanya tinggi tinggi, “darimana kau bisa mengerti bahasa kami, iblis.”
Aku? Iblis? Yang benar saja!, gumam Sam. Seumur hidupnya nggak ada orang yang pernah memanggilnya begitu. Paling paling sebutan ‘kilap’ karna dahinya yang lebar.
“Aku … em, bukan iblis. Aku manusia, dan aku dari Inggris. Aku datang, bersama ….”, Sam mencoba menjelaskan maksud kedatangannnya sebelum tetua tersebut menyahut,
“Ras Aryan tidak boleh masuk ke dalam desaku!”
Sam tak tau apapun tentang hal ini. Aryan? Di tahun 80-an? Sam mengingat bayangan dirinya di depan cermin setiap pagi hari. Ya, memang benar dirinya mirip sekali dengan ras Aryan. Tapi kenapa mereka sangat membenci para Aryan? Ia harus tau tentang hal ini.
Sam berfikir keras agar dapat lepas dari masalah sepele seperti ini, “aku diubah jadi seperti ini karna ras Aryan. Mereka menyiksaku dan menyuruhku berubah seperti ini. Mereka menyuntik kornea mataku, dan diubah dari …”, Sam melihat betul betul mata tetua didepannya, “ …. coklat ke biru. Rambutku disemir dari hitam ke pirang. Dan kulitku diberi cairan, diterpa matahari selama 4 jam, dan menjadi sangat pucat.”
Sam terpaksa berbohong. Ia sudah paham betul ras Aryan itu seperti apa. Mendewakan ras berkulit putih, pirang, dan bermata biru.
“Kasihan sekali wanita ini.”, seorang pemuda menurunkan tombaknya dan bergumam. Orang orang dibelakangnya juga ikutan menurunkan tombak mereka. Tetua disana mundur beberapa langkah dan mengajak Sam dan kawan kawannya masuk ke dalam desa.
“Masuk … masuk …. budak Aryan sekarang sudah selamat. Selamat datang di desa Tahota’, desa para pembela.”, kata tetua tersebut, tersenyum.
Sam diterima dengan baik disana. Anak anak disana juga mulai suka dengannya, terlebih lagi Emma, yang sedang duduk di pangkuan Sam, memakan ikan bakar yang masih panas –baru diangkat dari api unggun- sambil menyanyikan lagu mereka.
Sam tak begitu faham dengan apa yang mereka katakan, tetapi ia membuka catatannya dan menulis semua yang didengarnya.
Kita orang orang pembela berkumpul
Menerima hanya yang baik
Yang jahat dilupakan
Yang jahat dihina
Bertahun tahun bertahan
Bertahun tahun diperbudak
Kemudian seorang bangkit
Dari atas yang bawah selamat
Kudus mereka para pembela
Buang yang jahat kumpul yang baik!
Yang pasti mereka sedang menyanyikan lagu para pembela. Karna jelas sekali disebutkan bahwa para pembela ras berkumpul setelah diperbudak oleh ras orang kulit putih.
Sam hanya mendengarkannya, sambil memakan ikan bakarnya, bersama kelima orang kekar tadi. Kemudian ia melihat Emma yang lagi asyik dengan kegiatannya, menyadari dengan kalimat Emma saat ia pertama kali menginjakkan kaki di desa Tohota’
“Mana Markus, adikmu itu?”, kata Sam tiba tiba.
Emma membalikkan tubuhnya cepat, “Hmm?? Mark? Nggak tau pasti sih …”, kata Emma –masih mengunyah ikannya- kemudian menunjuk ke balik patung patung kayu besar berukir hewan hewan air, “paling disitu …”
“Aku kesana yah?”, Sam mengangkat Emma dan membawanya ke samping kirinya; kemudian bangkit dan berjalan menuju patung kayu berukir.
“Markus?”
“Halo nak …”, Sam duduk di sebelah cowok kecil yang sedang memegang bola kuning yang sudah berlumuran lumpur.
Cowok itu menoleh, tanpa ekspresi.
“Nggak usah takut sayang. Aku nggak ngigit kok.”, sahut Sam saat mark merangkak menjauh.
Cowok kecil itu masih belum merespon. Mungkin belum mengerti apa yang Sam bicarakan. Umur Mark masih sangat belia, baru 4 atau 5 tahun. Saat melihat Mark merangkak lebih jauh lagi, Sam memegang tangan Mark hati hati.
“Kakak ini dokter eh tabit, kalau Mark sakit, tinggal bilang ke kakak, yah?”, kata Sam luwes, nggak menyaingi suara ramai orang orang di sekitar api unggun.
Mark sedang berfikir, antara mempercayai tabit ini atau tidak, kemudian Mark menggangguk dan membalas genggaman tangan Sam. “Kakak bisa nyembuhin bola aku nggak?”, sahut Mark kemudian, melirik bola kuningnya yang berlumuran lumpur, “bolanya ngeluarin darah, warnanya coklat.”
Sam tertawa, kemudian membelai kepala Mark dengan lembut.
“Bola nggak bisa ngeluarin darah sayang. Bolanya cuman kotor.”, kata Sam, merebut bola kuning di tangan Mark, kemudian mencelupkannya ke dalam kubangan air di samping kayu berukir tersebut.
Setelah lumpur di sekitar bola kuning tersebut hilang, Sam menunjukkannya pada Mark, “tuh kan, bolanya cuman kotor.”
“Ooohh … hebaat …”, Mark memandang tajub bola kuning tersebut, kemudian mengambilnya hati hati.
Sam tersenyum lebar melihatnya, tanpa disadari seorang pria berjanggut berdiri di dekat mereka.
Comments
Post a Comment
Komentar anda adalah suatu yang berharga ...