Skip to main content

Samantha Wisley : Aryan (part4)


Sam masih menatap langit biru di dalam mobil taksi Thomas. Nggak seperti biasanya dia merasa nggak enak seperti saat ini. Mungkin gara gara pendingin mobil yang terlalu dingin. Tapi kali ini berbeda, Sam tau ia bukan seorang peramal atau sejenisnya, tapi ia merasakan sesuatu akan terjadi pada Mark.
Entah mengapa Sam punya ketertarikan pada Mark.
Mungkin karna Mark satu satunya cowok yang umurnya masih dibawah 6 tahun disana. Tapi Sam belum mau memikirkannya, ia masih ingin melanjutkan pikirannya tentang ulang tahun ibunya yang tinggal beberapa hari lagi.

Ketika mobil kuning tersebut melewati gerbang setinggi 2 meter, Sam mengintip ke luar jendela, bangunan yang supertinggi dengan jendela yang menjorok ke dalam dengan tirai yang terbuka lebar. Ini dia apartemennya. Yang sudah ia tinggali sejak ia pertama ditugaskan jadi dokter.

Sam keluar mobil taksi tersebut dengan tas kecil di bahunya. Thomas yang mengangkat tas besar milik Sam, berjalan mengikuti Sam.
“Tarus disitu saja. Terimakasih.”, kata Sam, dan kemudian membuka tas kecilnya saat Thomas bersiul dan menjulurkan tanggannya, “berapa?”
“Ayolah Miss. Aku pernah mengantarmu dulu.”
“Ya ampun sepertinya aku kena amnesia,”, kata Sam kemudian memeberikan limabelas pound ke tangan Thomas.
Thomas menghitung baik baik lembaran lembaran uang kertas di tangannya, “sepertinya anda salah menghitung Miss.”
“Loh, lima belas kan?”
“Terserah deh.”, kata Thomas sedikit kesal, kemudian kembali ke mobilnya.

Sam masuk ke dalam ruangan pribadinya, dengan barang barang yang sudah dimasukkannya ke dalam kamarnya. Sam menarik nafas dalam dalam, dilihatnya bingkai dengan foto hitamputih persegi panjang yang sudah agak kusam. Seorang cewek kecil, memegang salah satu sisi rok merah nya, dan memakai bando. Dengan sebuah tangan yang merangkul pinggangnya. Itu ia dan ibunya. Ibu Sam sudah lama sekali meninggal, beliau ditemukan tewas di sebuah sungai, dengan kepingan kepingan mobil di sekelilingnya. Ayahnya mengikuti jejak ibunya dua tahun kemudian, terjebak api saat ingin menyelamatkannya.
Lamunan Sam buyar saat telepon rumahnya bordering. Sam bangkit dari sofanya dan menghampiri benda itu.
“Halo??” kata Sam dengan cepat.
“Ellen cepat ke kantorku dan bawakan aku jas yang tertinggal di rumah!”, sahut orang di dalam telepon.
Benar benar tidak sopan, gumam Sam. “Heh, kamu pikir saya siapa ha?? Berani ya suruh suruh. Saya ini dokter bukan pembantu.”
Sam menahan tawanya saat pria ditelefon itu terkejut, “oh bukan ya? Ma …. Aa. …. “

Tut tut tut …
Telepon dimatikan.

Sam segera melompat ke sofa dan mengambil buku telepon. Ini adalah bagian yang paling Sam suka. Melacak nomor orang. Sam dengan teliti mencari orang yang punya nomor telepon 562-331.
“Dupuluh satu … duapuluhsembilan … tigasatu .. nah!”, Sam menekankan jari telunjuknya ke buku telepon yang tebalnya lebih dari tigapuluh cm itu.
Sam hampir kehabisan nafas saat nama yang tercantum disana adalah orang yang paling ngganteng dan kaya yang pernah ia temui. Louis Walsh.
Sam berdiri dan berlari kea rah telepon rumahnya. Diputarkan angkanya. Lima enam dua tiga tiga satu.
“LOUISSS!!!”, jerit Sam setelah suara di telepon berbunyi, ‘Halo?’
“Maaf anda siapa?”
Sam menjentikkan jarinya, “jangan pura pura nggak kenal deh sama aku. Aku cewek yang ketemu sama kamu, di hotel itu loh, seorang dokter.”
“Sudah kubilang aku ini nggak suka sama dokter!”, balas pria itu dengan nada lumayan tinggi, “dengar yah saya ada urusan, jangan ganggu saya lagi.”
Telepon ditutup. Lagi.
Sam menutup gagang telponnya dan berjalan malas ke sofa.
Sam belum ingin memikirkan hal ini dulu, ia berfikir kembali tentang Emma dan adiknya. Ia ingin ke desa itu lagi dalam waktu dekat.

Keesokan harinya Sam bebas. Bukan hari sabtu atau minggu memang. Tapi pihak rumah sakit sudah memberinya cuti; jadi ia pergi ke sekolah sekolah di pinggiran kota. Sekedar untuk berkunjung.
Pagi harinya terasa sangat menyenangkan. Orang orang sudah hampir normal daripada sebelumnya. Nggak ada lagi cowok yang cuman pakai celana dalam berkeliling keliling kota; jogging katanya.
Anak anak yang bolos sekolah sembunyi sembunyi di dalam café, beberapa lainnya bermain skateboard yang baru baru ini menjamur di London.
Sam membeli dulu tiga cup es krim seharga dua setengah pound disana, kemudian berjalan diatas jembatan yang masih baru dibangun. Didepannya taman bunga yang sebagian rusak akibat pembangunan. Sampai akhirnya ia berjalan melewati sekolah menengah St. Paulus, bertemu beberapa guru dan suster berkerudung.
Ini sekolah lamanya. Disinilah Sam menghabiskan 9 jam setiap hari senin sampai jumat selama 6 tahun, disini. Setelah dirinya pindah dari Jerman, sekolah di asrama Colfort, bertemu dengan orang orang yang angkuh –karna sekolahnya yang mahal dan terkenal berstatus internasional-, dan sombong.
Masa kecil Sam hampir seperti anak anak lainnya.
Bersekolah, mengerjakan tugas, makan malam, dan tidur. Hingga akhirnya ibunya yang wafat karna tak terdektesi siapapun saat beliau tenggelam ke dasar sungai. Saat itu Sam masih berumur 6 tahun. Sejak itulah Sam berniat jadi dokter, menyelamatkan orang orang, menjadi pahlawan.

Sam menghabiskan es krimnya, kemudian masuk ke dalam sekolah yang sudah berlumut tersebut. Sam masih mengingat beberapa furniture disana. Kursi kursi panjang yang sudah diganti dengan kayu jati yang keras di depan sekolahan, deretan loker yang beberapa ditempeli bekas permen karet, dan hal yang paling disukai Sam adalah majalan dinding yang sering ia isi semasa ia di sekolah menengah. Ia suka menulis artikel, buku apapun yang ia baca, selalu disebarkannya lagi kepada teman temannya lewat madding itu. Dan menjadikan Sam sebagai professor sekolah.

“Loh, Samantha??”, seseorang dibelakang Sam menepuk pundak Sam lembut.
Sam berteriak sesaat dan kemudian emmeluk wanita didepannya, “Maya!! Sedang apa kau disini?”
“Pertanyaan yang sama untukmu, sayang.”, wanita tua tersebut memeluk Sam erat erat, kemudian mengajaknya ke barisan paling barat kantin terbuka milik sekolah; temat Sam biasanya membolos.
“Dengar yah, Sam”, kata wanita tersebut, “aku sekarang jadi guru disni.”
Sam menutup mulutnya yang terbuka, “kyaa … lihatlah kawan lamaku ini yang jadi seorang guru.”
“Bagaimana kabarmu bu dokter?”
“Aku sedang ada tugas, di Irlandia.”, kata Sam, mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan wanita di depannya, “anak anak disana sedang butuh perhatian.”
“Kok kamu masih disini?”, Maya mengangkat sebelah alisnya, menjadikan siku tangan kanannya sebagai penopang kepalanya yang lonjong.
“Lagi pengen kesini, minggu depan baru kesana lagi.”
“Ohh …”
Mereka terus berbincang bincang sampai tiba tiba air di dalam gelas jus lemon di depan Sam bergerak. Kursi yang mereka duduki bergetar pelan. Beberapa detik kemudian, semua benda berhenti bergerak.
Sam yang sedikit panic langsung berlari ke tempat yang bebas pohon. Sam bisa melihat puluhan murid juga berlindung disana.
“Gempa.”, gumam Sam sambil menatap ke atas, “nyalakan radio!”
..
Gempa ini adalah pertama kalinya di desa tohota’ yang pernah dirasakan Mark. Ia masih berada di gubuknya. Kakaknya Emma sedang memeluknya erat erat, sedangkan Mark yang hampir menangis memeluk bola kuningnya yang berlumuran lumpur lagi.
“Kakak, itu tadi apa?”, kata Mark putus putus karena menahan tangis. Kakanya Emma menyuruhnya diam dan tetap memeluknya, sampai ayah mereka menyuruh mereka keluar.
Setelah gempa berakhir, Mark dan keluarganya berhenti berlarian.
“Tadi kencang sekali.”, sahut ayah Mark khawatir, “baiklah kalian berdua, kembalilah lagi ke gubuk.”

Warga desa Tohota berdesak desakan di lapangan utama. Mereka saling berbisik tentang apa sebenarnya getaran tadi. Ada yang bilang kura kura yang mengangkut bumi bergerak, sampai ada paus yang jatuh dari langit. Banyak kerusakan terjadi di desa Tohota, beberapa gubuk kecil runtuh, patung kayu berukir miring sedikit ke barat. Mereka masih bergumul dan berdoa.
..

“Gempa terjadi di sekitar pantai Irlandia, 23 km dari garis pantai, 1.3 skala richter. Tidak menyebabkan tsunami, tetapi kemungkinan terdapat gempa susulan.”, jelas sam untuk ketiga kalinya. Ia sedang berada di apartemennya, dengan kawan lamanya Maya yang tiduran di karpet bulu di ruang tamu.
“Memangnya kenapa kau khawatir sekali, Sam? Atau jangan jangan pacarmu ada disana.”, Sam ingin menjawabnya sebelum telepon genggam milik Maya berbunyi, “eh …”
“Halo? Baik …. Siapa? Oh, Kevin! Lama tak berjumpa kawan … ada apa??”
Sam sudah pasti bisa menebak siapa yang berbicara dengan kawannya itu. Dia bangkit dari sofanya dan tiduran di sebelah Maya.
“Hah?? Anakmu?”
Sam melirik kaget kea rah Maya. Sampai akhirnya Maya menutup telepon genggamnya dan mengguncang guncangkan pundak Sam dengan keras.
“Kevin mau punya anak!”

Comments

Popular posts from this blog

My Acne Story

Hai semua, langsung aja ya aku mau share ke kalian skin care aku selama ini. Fyi, semenjak SMP kelas 3 aku sudah kena masalah kulit yaitu jerawat, walaupun masih kecil-kecil jadi gak begitu ganggu makanya aku biarin aja, nah baru deh SMA baru kotar katir kebingungan hehe. Ini foto waktu awal Februari 2018, jerawat lagi parah parahnya. Jerawatnya besar, merah, meradang, lama banget kempesnya, dan waktu kempes jadi item banget. Jelek gitu ish. Sudah lumayan banyak produk yang sudah aku pakai dan hasilnya kurang memuaskan :( dan akhirnya di akhir tahun 2018 akhirnya kulitku bisa sangat jauh mendingan dan jerawat cuman muncul saat lagi menjelang haid atau lagi stress berat, itupun cuman 1 atau 2. Trus sekarang aku pakai apa aja untuk merawat wajah unyuku ini? Pagi hari, biasanya aku langsung minum air putih segelas biar bener bener bangun, trus kalau misalnya hari sabtu atau hari libur atau misalnya ga ngapa ngapain seharian, biasanya aku gak cuci muka pakai sabun, bila...

Mobil Baru, ya Pacar Baru (ending)

Hari ini harus udah bisa pegang stir, gumam Shane, mengingat pelajaran konyol yang diberikan Jodi kemarin. Kian seoerti biasa menyisir rambutnya serapi mungkin, dan hari ini kian menambahkan sejenis gel rambut di rambut pirangnya, pelan pelan sekali sampai mata shane mulai terkatup. “Ki, uda belom.??”, jerit Shane dari depan teras, tangannya sudah membawa helm kesayangannya. “Bellomm, dikit lagi … “, balas suara dari dalam kamar. Shane terus menunggu, dilihatnya jam kecil terlilit di tangannya, jam tiga lebih limapuluh Sembilan menit. Wah gawat, Mark dan adiknya akan meninggalkan mereka kalau mereka tidak segera berangkat. Shane menjerit sekali lagi, “Cepetannn kii!!!”, dan jawaban yang sama pun terdengar, “belom, dikit lagi.” Shane sudah tidak sabar lagi, diambilnya kunci sepeda motor di dekat kursi teras, dimasukkannya pada lubang kunci dan dinyalakannlah mesin motor, “jreeennggg….”, suaranya menggelegar, membuat Kian yang sedang berdandan terkejut. Kian langs...

Re-Hi!

Halo. Aku Ajeng. Sudah 4 tahun berlalu, 900 keturunan tikus berlalu, dan dunia masih belum kiamat semenjak aku terakhir kali buat entri baru di blog ini. Syukurlah masih ada orang yang mau mengunjungi, walau sedetik kemudian mereka langsung tutup tab nya. Aku maklum, sangat maklum. Maka dari itu, setelah menimbang nimbang apakah aku akan melanjutkan menulis di blog atau tidak, setelah aku bilang ke diri aku sendiri, "oke Ajeng, menulis ataupun tidak, tidak ada yang benar benar akan lihat blog kamu." Lalu suara lain berkata, "semua hal yang telah kamu tinggalkan disini, kamu lupa?" Sial, aku jadi terharu. Blog ini bisa dibilang adalah gudang dari seluruh ide dalam kepalaku yang kuubah menjadi bentuk kalimat, menjadi paragraf abstrak kemudian berkembang menjadi sebuah cerita utuh, dengan plot yang berbeda beda. Aku hampir menulis semuanya. Unek unek yang tidak berujung, cerita fiksi yang manis, dan semuanya. Apresiasi tertinggi saat menulis blog ini adalah ...