Bagian 1 : Rumor
“Kalau dia bener bener ‘gitu’ perutnya pasti
besar”, gadis itu mengintip dari balik pintu. “Lihat kan, dia pegangin perutnya
mulu.”
“Jangan ngaco ah, Gill dia baru kelas tujuh
smp, mana mungkin?”, kali ini Jodi angkat suara, ia tidk bisa membiarkan
sahabatnya itu diejek.
Seorang gadis sibuk memainkan rambutnya di
kelas, rambutnya lurus kebawah, berwarna pirang kecoklatan. Memang benar
perutnya besar, tapi itu tidak mungkin.
Sudah beberapa hari ini, berita yang membuat
kuping Jodi panas, membuatnya sedikit frustasi dengan hal itu. Sahabat baiknya
Michelle, diduga hamil muda. Jodi sempat terkejut selama beberapa waktu,
seingatnya Michelle adalah gadis yang baik, gadis yang patuh, dan pintar. Tapi
entah mengapa, hatinya serasa remuk mendengar berita itu.
“Aku akan mengecek nya.”, kata Jodi menunduk.
Ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.
Suara decitan sepatu membuat Michelle
mendongak, tangannya melambai disertai senyuman hangat. “Hai, Jod!”, sapanya.
Jodi hanya bisa tersenyum, langsung duduk di
samping Michelle, mencoba tidak melihat bagian perut Michelle. Jodi meletakkan
tangannya di meja, memperlihatkan cincin bergambar burung hantu memperindah
jarinya yang kecil.
“Wah, cincinmu baru ya? Beli dimana?”, dengan
santainya Michelle mengangkat telapak tangan Jodi, melihat cincin berlian Jodi
yang berkelap kelip terkena sinar lampu.
Dengan cepat Jodi menarik tangannya, kemudian
mengusa usapkan kedua telapak tangannya. “Maaf, tanganku kena minyak tadi, kalo
dipegang sakit.”, kata Jodi berbohong, ia masih takut dengan gossip panas
tersebut.
“Oh, maaf Jod, aku tidak tau.”, balasnya.
Michelle mulai melihat khawatir Jodi, yang
dari tadi menggeliat di kursinya. “Kamu ngga papa Jod?”, tanya Michelle,
sembari mencoba meletakkan telapak tangannya di dahi Jodi.
“Apa? Ngga kok, aku ngga sakit, aku, aku,
cuman agak capek, tadi disuruh lari keliling lapangan, aku telat lagi hari
ini.”, terpaksa Jodi harus berbohong lagi. Ia tau itu salah, tapi ia juga tidak
ingin sahabatnya terluka.
“Haha kamu emang telatan, makanya kalo tidur
jangan malem malem.”
Jodi menunduk, tidak tau apa yang harus
diucapkannya, dan akhirnya ia bangkit dan meninggalkan Michelle duduk sendirian
disana. “Pergi dulu ya Chell, aku mau kekantin nih, laper.”
Michelle mengangguk tersenyum, melihat
sahabatnya itu pergi meninggalkannya, tanpa sedikitpun curiga. Ia yakin Jodi
anak yang baik, ia yakin, ia menjadi sahabatnya semenjak ia masih berumur 5
tahun, tidak mungkin Jodi menyimpan rahasia.
…
“eh, gimana, kamu udah tanya belum dia itu
err, kamu tau kan?”, Olin menepuk pundak Jodi dengan sedikit kencang. “Jod jawab!”
Jodi hanya bisa menunduk lemas, dirinya tidak
tau harus bilang apa. “Belum, aku belum berani.”, kata Jod, menyenderkan
punggungnya ke tembok. Samar samar ia melihat Olin menatapnya tajam.
“Masa sih kamu ngga berani? Kamu kan
sahabatnya!”, jerit Olin akhirnya.
“Kalau kamu berani, coba saja sendiri!”,
protes Jodi. Ia lelah diperlakukan seperti ini, Olin keterlaluan, Michelle
jelas jelas anak yang baik, ia tidak melakukannya, ia tidak melakukannya. Ia
pun meninggalkan Olin, mencoba menahan air yang siap membasahi pipi merahnya.
Jelas sekali Olin menatapnya kecewa, Jod tidak
peduli, dengan hal itu. Ia hanya ingin pergi ke kantin dan melupakan segalanya.
Ya, itu bukan ide yang buruk.
…
“Pesen apa, nak?”, Lucy sekarang sudah siap
mengambil mangkok kosong, menunggu Jodi yang barusan duduk mengatakan sesuatu.
“Oh, aku ngga pesen, belum lapar.”, jawab Jodi lemas.
“Aish, biasanya kamu makan banyak, ada apa
nih?”, kata Lucy sembari duduk di samping Jodi. “Apa gara gara Michelle?”
Jantung Jodi serasa mau copot, ia hanya bisa
menganga dengan tatapan penuh marah pada Lucy, “Kau sudah tau?”, Jodi benar
benar lemas sekarang, ia sangat terpukul mendengarnya.
Lucy memegang pundak Jodi dengan lembut, “Maaf
Jod, tapi semunya telah tau.”
“Guru guru dan kepala sekolah?”, Jodi
memandang Lucy dengan sedikit harapan, dan syukurlah, Lucy menggeleng pasti.
Jodi bisa sedikit lebih tenang, asal para guru
tidak mengetahuinya, Michelle akan aman, ia masih bisa bersekolah dengan
tenang, dan ia berjanji pada dirinya sendiri ia tidak akan memberitaukan apa
apa pada Michelle.
***
Seminggu telah berlalu, Jodi punya harapan
rumor ganas tersebut tidak diperbincangkan lagi. Michelle aman, dan pastinya
tidak akan membuat Jodi frustasi. Tapi sepertinya tidak. Malah, semua memburuk,
saat ulangan tengah semester dimulai.
Siang terasa panjang kali ini, soal soal ujian
hari ini membuat badan Jodi semakin lemas, terlebih ada 2 pengawas yang siap
sedia di setiap sudut ruangan. Tampak beberapa murid sibuk memainkan jari
mereka, membuat sinyal sinyal yang unik, mulai dari telunjuk yang berputar
sekali searah jarum jam yang berarti “Nomor 1”, dan yang berlawanan arah jarum
jam berarti “Nomor 10”. Jodi hanya bisa pasrah, ia tidak ingin kejadian masa
lalunya terulang kembali. Saat dirinya tertangkap basah menyontek. Tidak akan
terjadi lagi, pikirnya.
“Duk duk”, seseorang menendang kursi yang
sedang diduduki Jodi dari samping.
“Soal nomor 24, cepet!”
“Bryan! Pikir sendiri dong!”, Jodi menendang
balik kursi Bryan yang sudah sedikit lapuk. Bryan memang tampan sekali, tapi
dia punya otak yang hampir tidak dipakainya seperseratus persen pun. Itulah
mengapa Jodi sedikit kesal dengannya.
“Dasar pelit.”, Bryan melempar sisa sisa
penghapus hitamnya kea rah wajah Jodi yang sudah mulai berminyak. “Rasain tuh.”
“Adduh, Brii!!”
“Ananda yang duduk di kursi 213 dan 214 harap
tidak gaduh!”, seseorang berkata dari tengah ruangan. Pengawas ujian tampak
lebih menyeramkan jika sedang marah, jalan satu satunya ya, diam.
“Iya pak.”, jawab Jodi dan Bryan serempak.
Jam menunjuk kea rah angka duabelas, itu
artinya setengah jam lagi ujian akan selesai, biasanya absensi siswa akan
disalur salurkan dari siswa ke siswa untuk diisi. Nama lengkap, kode siswa, alamat,
dan asal sekolah. Gampang, ngga usah mikir.
Kertas putih bergaris tersebut mulai terasa
penuh dengan tulisan tulisan murid murid di kelas tersebut, hingga akhirnya
sampai di Kian, dan sebelah kanannya adalah Michelle. Kian menulis dengan
santainya, mengocok ‘correction pen’ kemudian mengeluarkan cairan putih. Meniup
niup sedikit dan kemudian dengan cepatnya ia melempar kertas itu ke kanan,
begitu saja.
Kertas sudah mendarat baik di lantai, “ups
sorry, ngga sengaja”, kata Kian.
Michelle melirik sedikit kea rah Kian, dan
kemudian langsung menunduk mengambil kertas yang jatuh tersebut. Jodi
melihatnya dengan mata menyerngit. Tidak mungkin ia mendatangi Kian saat ini,
terlalu berbahaya. Lagipula tinggal setengah jam lagi, kan?
…
Bel berbunyi, dengan sigap Jodi mengambil tas hitamnya dan segera keluar
dari kelas. Dihentikannya langkah kakinya, ia masih melihat Michelle dengan
hati hati menarik tasnya keluar dari tumpukan tumpukan tas yang berserakan di
depan kelas. Setelah itu, ia langsung menghampiri Jodi yang masih menunggunya.
“Fyuh, tadi soalnya beneran bikin mules.”,
katanya.
Dia masih
tidak apa apa. “Iya nih, aku juga mules, apalagi tadi gara gara Bri aku
dimarahin sama pengawas, hahaha.”, Jodi menggandeng tangan Michelle dan mereka
pergi menuju spilut, untuk sekedar nongkrong setelah berlama lama membisu dan
kesemutan di kelas selama hampir dua jam.
Michelle yang saat itu sangat kelelahan
langsung duduk di sofa spilut yang dingin, “aaahhh”, gumamnya sambil menggoyang
goyangkan kakinya. Jodi meletakkan tasnya disamping Michelle, lalu pergi. “Eh
Jod, amu kemana?”, sergap Michelle menghentikan senam nya.
“Mau ketemu Kian dulu, ada sesuatu nih.”,
jawab Jodi singkat. Michelle hanya menggangguk.
…
“Ki, aku mau ngomong sama kamu.”, Jodi menarik
tangan Kian dari gerombolan teman temannya menuju ke tempat yang lebih sepi, di
lapangan basket.
“Apaan sih, kalo mau ngomong ya ngomong aja,
ngapain harus ke sini segala??!”, Jodi bisa melihat tatapan mata Kian yang
tegas.
“Ini soal Michelle. Aku tau kamu benci dia,
tapi aku mohon jangan sakitin dia.”, kali ini Jodi memegang kedua tangan Jodi
dan mengayun ayunkannya.
Kian terdiam sejenak, mencoba mengingat
masalah tadi. Michelle si Gadis Zinah. “Lebih baik jangan dekatin dia Jod, ini
demi kebaikan kamu.”, Kian menempis tangan Jodi dengan kasar. Pelan pelan ia
menyeret kakinya keluar lapangan.
Diliriknya sedikit Jodi yang menatapnya.
Setitik air tampak berkelip di mata Jodi. Kian menghembuskan nafas panjangnya.
Lalu ia berbalik dan mengambil selembar tissue dari sakunya. “Udah jangan
nangis, udah gede. Kan malu. Nih … ”
Jodi mengangguk lirih, “terimakasih.”
Kian membalas anggukannya, dan segeralah ia
pergi dari lapangan basket.
“Ki, kamu tadi ngomong apa sama
Jodi, kamu nembak dia ya?”, tanya Bri sesampainya Kian muncul dari balik tubuh
besar Brian.
“Jangan ngaco deh. Lagian aku ngga ngomong
aneh aneh kok, cuman masalah kecil.”
“Apaan?”
“Katanya dia pengen kawin sama Justin Bieber.”
Burrr…. Gelak tawa Bryan meledak
membuat susu yang tersimpan di mulutnya menyembur tepat di wajah Kian yang
mulus, dan tentu saja Kian langsung ambil suara. “Tega ya kamu.”
…
“Aku pikir kita harus kasi dia
pelajaran.”, bisikan suara kasar Olin menyeruak di dalam gendang telinga
Jessie. “Aku setuju.”, jawab Jessie singkat.
“Seandainya kepala sekolah tau, mungkin dia
sudah minggat dari sini. Tapi jangan dulu, biarkan alam yang menjawabnya
sendiri. Lihat aja ntar juga ketauan.”, jelas Jessie.
Jodi yang tidak sengaja mendengar
hal itu langsung menyela, “kenapa sih kalian selalu jahatin Michelle. Dia kan
juga manusia, dia juga perlu disayangi! Kalian lupa hukum kasih?”
“Menyayangi Michelle? Maaf ya, ngga akan!
Lagian kamu ngapain juga mau deket sama dia? Kalau kamu ketularan dia gimana?
Kamu kan susah sendiri!”, nada bicara Olin membuat Jodi naik darah. Benar saja,
Jodi langsung mengambil kuda-kuda, siap menampar Olin.
“CUKUP! Kalian kalau bertengkar masalahnya
akan jadi besar!”, Kian tiba tiba berdiri di belakang Jodi, lengkap dengan muka
lengket penuh cairan putih.
Jessie tidak bisa menahan tawanya,
dan akhirnya ia tertawa terbahak bahak, tanpa mempedulikan Kian yang cemberut.
“Jessie, stop.”, pekik Kian.
Olin seperti biasanya melipat
kedua tangannya kedepan, “so, rencanamu apa sekarang?”
Kian menghela nafas beratnya,
“kita harus tau kebenarannya, kita akan tanya Michelle bareng bareng.”, kata
Kian penuh keyakinan. Jodi melihat mata Kian yang penuh kejujuran, jadi ia
menggangguk.
“Mana ada orang salah ngaku?”,
sembur Jessie.
“Michelle orang yang baik, dia pasti
mengatakan yang jujur.”, Jodi berkata dengan tenangnya, melihat situasi sedang
ramai, takut ada orang yang tau.
“Ok, kita pikir nanti aja, besok masih ulangan
kan? Udah bubar bubar!”, kata Kian akhirnya, membuat perlahan kaki kecil Jessie
dan Olin pergi meninggalkan mereka. Tidak sampai beberapa meter, ia berkata
kepada Jodi, “hati hati dengannya.”
Jodi menggangguk pasrah, ia tidak
ingin memperpanjang masalah.
“Aku pikir Olin juga ada benarnya, kamu harus
hati hati.”, sembur Kian setelah melihat Jodi siap meninggalkan tempat itu.
Jodi menatap Kian dengan mata
menyerngit, “kamu bersengkokol dengan mereka?”
“Bukan begitu, aku cuman pengen
kamu aman, biar kamu ngga err, kamu tau kan?”, Kian mencoba menjelaskan pada
Jodi, tapi tidak berhasil, Jodi tetap pergi meninggalkan Kian.
“Jangan ganggu Michelle, apapun yang terjadi
dia juga orang biasa kan? Tak ada yang sempurna, Ki. Kita harus siap dengan
kelemahan dan kelebihan orang lain”, jelas Jodi dari kejauhan.
Kian hanya bisa termenung,
kepalanya sekarang terasa berat, ada perasaan kecewa dan bangga didalam
hatinya. Kecewa karna Jodi tak menurut kata katanya, dan bangga karna dia
adalah orang yang sangat setia. Tapi ada rasa cemburu juga disana.
…
Comments
Post a Comment
Komentar anda adalah suatu yang berharga ...