Aku tidak tau sudah berapa lama aku menangis. Detik demi detik kulalui di kantorku yang sempit, bersama beberapa teman sekantorku yang lainnya. Sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing, tanpa mempedulikan diriku. Tapi, benar juga, siapasih yang mau mempedulikan gadis muda jelek, gendut, dan tak berbakat sepertiku?
Kulihat lagi agendaku. Tepat tengah hari aku harus pergi ke suatu tempat. Dulu tempat itu adalah idamanku, sejak pertama kali aku kerja disini. Tapi sekarang, tempat itu bagaikan neraka bagiku. Aku tidak berani membayangkan apa reaksi boss nanti. Aku hanya bisa pasrah, dan mulai melangkah ke tempat itu.
“Tok tok”, aku mulai mengetuk pintu ragu ragu, menunggu jawaban sang pemilik tempat.
“Masuk.”, terdengar suara dari dalam.
Langkahku terasa berat saat itu, aku menunduk menatap lantai putih yang mengkilat, menampakkan mataku yang lebam karna terlalu banyak menangis. Kulihat dua kursi berhadapan satu sama lain, seseorang duduk di salah satu kursi tersebut. Terlihat dari papan nama di kanan jasnya, ia adalah seorang pimpinan. Orang itu mendongak, menatapku. Walau aku tak melihatnya, tapi aku yakin ia mendongak ke arahku.
Aku duduk di kursi, persis didepan orang itu. Udara terasa pengap bagiku, padahal ada AC yang bertengger di dinding hijau jamrud. Aku gugup.
Orang itu menarik nafas dalam dalam, “Kamu tau kan kesalahan kamu apa?”
Aku mengangguk pasrah, “Maafkan saya Pak.”
Sekali lagi pria itu menarik nafas. Dibuangnya lagi, mungkin ia sedang berfikir, dengan apa ia akan memukulku. Haha, aku hanya bisa mengingat kejadian masa laluku. Kuharap jika aku bercerita sedikit ia akan mengerti.
“Saya memerlukan uang tersebut pak, ibu saya …. “
“Diam.”, ucap pria itu memotong pembicaraanku. “Saya tau, semuanya.”
Aku terdiam seribu kata. Bagaimana ia mengetahuinya? Aku tidak pernah memberitahukannya pada siapa siapa, kecuali … Kian.
“Saudari Jodi, saya tau ibu anda sedang dalam perawatan di rumah sakit. Beliau terkena kanker hebat di otaknya. Saya minta maaf soal hal itu.”, ucapnya cepat cepat. Aku hanya menggangguk tersenyum perih.
“Tapi saya kecewa dengan apa yang kamu lakukan.”, ucap pria tersebut. “Harusnya kamu beritahu saya, tentang semua itu. Saya bisa pertimbangkan, saya bisa berikan dana untuk anda.”
Aku berhenti tersenyum, menunduk kea rah lantai, dan mulai menitikkan air mata. Oh Tuhan, aku menangis di hadapan atasanku, entah berapa banyak hukuman yang akan kuterima. Berkali kali kuusap mataku, tapi tetap tidak berhasil, air mataku terus menerus berjatuhan.
“Aku yang salah.”, ucap pria itu. “Aku tidak peduli dengan bawahanku, maafkan aku.”
Aku mencoba menahan tangisku sebentar, mencoba mencerna apa yang pria tersebut barusan katakan. Kenapa dia yang minta maaf kepadaku.
“Karna kita bukanlah sekedar tim, mencoba membuat majalah yang dibaca orang orang.”, ucapnya, sembari memberiku selembar tissue, “Kita ini keluarga.”
“Satu kesusahan, semua bertanggungjawab. Satu senang, semua juga senang. Satu menangis …. semua menangis.”, dan jatuhlah air mata pria tersebut.
Aku tidak percaya akan hal ini. Mark Feehily, seseorang yang sangat tegas dalam menjalani kewajibannya, orang dengan kedudukan yang sangat tinggi, menangis di hadapan orang kantoran jelek sepertiku?
Pria itu akhirnya menyeka air matanya, dan memegang pundakku, “Kami semua sayang sama kamu, kalau kamu ada masalah, bilang sama aku.”
Aku hampir ingin tertawa mendengarnya, ia seperti anak kecil.
“Iya, aku juga sayang sama kalian.”, jawabku, mencoba menyamai asen Mark. “Tapi, aku sudah melakukan kesalahan besar.”
“Saya sudah mengurus semuanya.”, seraya menarik tangannya dari pundakku, “Kamu saya maafkan, seluruh uang yang sudah kamu korupsi akan saya lunasi, tidak semuanya memang, gajimu akan aku potong setiap bulannya, sampai semua lunas.”
Aku tersenyum lega, akhirnya ada yang mengerti diriku.
Ya kurang lebih seperti itulah mimpiku, tapi nama namanya aku ganti (dikit) hehehehe .....
Comments
Post a Comment
Komentar anda adalah suatu yang berharga ...