Ini dia cerpen aku yang ngga tau keberapa, bentar lagi mid semester, makanya biar ngga stress aku nulis ini aja, enjoy yahhhh ^^
Laskar NyonyaAgung
Di
jantung kota Tulungagung ,alun alun kota di belokan Agung, diatas jalur pejalan
kaki di seberang Masjid Agung, anak lelaki kurus bernama Tody duduk di samping
topi yang tergeletak dengan posisi mengadah, sambil memandang arah pejalan kaki
dengan wajah murung. Di sampingnya, sahabat barunya Reta, menyanyikan lagu
dengan nada yang dibuat buat.
“Disinilah kita sekarang, duduk diam meratapi
kehidupan, memandang langit kosong, dan berlari mengitari dunia penuh
kebohongan. Menatap satu persatu orang orang berdosa, melewatiku dengan wajah
yang tak ingin tau. Hari mulai siang, sobat, tikus gemuk tidak akan
mengenyangkan perut mungilmu, sobat, berilah padaku, sepotong roti atau sesuap
nasi.”
Tody
mengalihkan perhatiannya pada Reta, tubuhnya hampir sama mengenaskan dengan
dirinya, baju kusam, wajah penuh noda, dan bau yang menyengat. Hanya saja Reta
lebih mungil darinya, umurnya tidak jauh beda dengannya, ia berumur 10 tahun
sedang Reta 8 tahun. Tody memandang kesal sahabatnya itu, ia merasa sangat
bersalah, entah apa yang membuatnya merasa bersalah, ingatannya tidak begitu
tajam, tapi ia tau ia salah, hati kecilnya berkata seperti itu.
“Tod,
aku lapar, apakah kita makan tikus lagi hari ini?”
Tody
terperanggah, ia tidak berani memandang mata Reta, terlalu menyedihkan, lalu ia
menggeleng, menggenggam kuat tangan sahabatnya itu.
“Tentu
tidak, kita akan makan nasi.”, kata Tod dengan penuh semangat, dilihatnya topi
penuh noda di sampingnya, masih kosong.
Reta
mengetahuinya, dan segera berdiri, lalu ia mengambil topi itu dan memakainya.
“Hey,
mau kemana?”, tanya Tod, melihat Reta sudah melangkahkan kaki kea rah jalan
raya penuh kendaraan besar dan mewah. Tod masih memegang kuat tangan Reta,
semakin kencang saat Reta beranjak pergi.
“Ayo
kita berteduh, percuma disini, tidak ada orang yang peduli.”, jawab Reta.
Matanya berkedip kedip, memperhatikan sekitar dan segera menarik Tody dengan
sedikit kasar.
Tody
mengikutinya, sambil menatap orang orang yang dilaluinya. Ia juga mendengar
samar samar Reta menyanyi, menyanyikan lagu yang membuat semua orang patah
hati, membuat jantung menjadi remuk, bahakn Tod tidak sanggup mendengarnya, ia
melepas genggamannya dan berjalan di belakang Reta.
Tod
masih tidak peduli kemana Reta pergi, sebelum ia sampai di sebuah gerbong
kereta tua yang sudah mulai berkarat sana sini, penuh dengan pecahan kaca. Reta
menarik tangan Tod, mendekati gerbong tua itu.
“Ini
tempat apa, Ta?”, ada rasa gembira dan penasaran di dalam pikiran Tod, gembira
karena sekarang ia memiliki tempat berteduh dan penasaran apa yang ada dalam
gerbong tua itu.“Ini
rumah kami.”, kata Reta sedikit pelan. Ia tau ia tidak bisa memberitahukannya
kemarin, tidak mungkin Reta membawa orang asing ke dalam rumahnya itu.
“Kau
tidak pernah memberitahuku kau punya rumah. Kau tinggal bersama orang tuamu?”
“Aku
tinggal dengan teman teman lascar nyonyaagung –ku, mereka yang merawatku dari
kecil, aku bahkan tidak tau siapa orang tuaku. Maafkan aku tod, aku tidak
bermaksud untuk tidak membiarkanmu masuk, tapi aku takut kau tidak diterima
disana.”
Tod
mengangguk, menepuk pundak Reta beberapa kali, nafasnya sedikit tersengal
sengal, ada perasaan khawatir didalam hati kecilnya. Beberapa saat kemudian, ia
menatap Reta, begitu dekat sehingga rambut Reta yang tertiup angin menyentuh
tangan Tody.
“Aku
yakin aku akan diterima, mereka pasti orang yang sangat baik.”
“Memang,
sangat bahkan.”, Reta tersenyum penuh kebanggaan atas teman temannya itu,
mereka menolongnya tampa pamrih, mereka menjaga Reta, bahkan menyekolahkan
Reta, hingga akhirnya Reta tidak bisa melanjutkan sekolahnya, masalah biaya,
itu wajar.
Reta
mulai berjalan maju, diikuti Tod yang berjalan dengan kaki diseret, membuat
pasir pasir halus di sekitar tempat itu menari nari di udara. Semakin lama
semakin kelihatan, sebuah gerbong besar tua yang sudah mulai berkarat, disertai
coretan coretan kapur dan spidol dimana mana, membuat kesan unik tersendiri.
Mereka
hampir sampai, tinggal beberapa langkah kaki, sebelum mereka dikejutkan oleh
seorang pemuda kumuh yang besar, ia memakai topi bundar dan tas bekas yang
sudah ditambal beberapa kali.
“Reta
sudah pulang, dari mana saja kamu? Semua orang menunggumu.”, kata pemuda itu,
pandangannya dipusatkan pada Reta, membelakangi Tod yang masih bingung siapakah
orang tersebut.
“Iya
bang, Reta habis pergi ke situ, ke alun alun, trus ketemu sama teman baruku,
Tody.”, jelas Reta, menarik tangan Tod mendekat kearahnya, seraya menunjukkan
wajah kusut Tod pada abangnya. “Tod, ini abang
aku, namanya Kai.”
“Bang Kai? Bangkai?”,
Tod bergumam sendiri, ia menggigit bibir bawahnya menahan tawa, nama orang
orang disini memang agak aneh.
“
… dan begitulah aku bisa bertemu dengan Tod.”, Reta mengakhiri cerita
pengalamannya saat bersama Tod, semua orang memandang Reta, mendengarkan ceritanya
dengan saksama.
“Ceritakan tentang dirimu Tod!”, seseorang menjerit dari belakang gerbong, seseorang yang sama tinggi dengannya, agak sedikit lebih putih, mungkin karena ia keturunan Chinese, matanya sipit, dan sedikit keatas, mirip sekali dengan boneka.
“Uh
emm, sebenarnya aku belum tau apa nama tempat ini, tapi pertama tama aku ingin
berterimakasih pada Reta, yang sudah membawaku kemari, bertemu dengan kalian,
orang orang yang penuh kasih. Sebelum aku memperkenalkan diriku, boleh aku tau
informasi tentang kalian semua?”
Semua
orang terdiam, larut dengan pikiran mereka masing masing, seseorangpun berdiri,
begitu tegaknya sambil mengangkat tangan kirinya.
“Aku
Eriawan, panggil saja Eri, aku tinggal di dekat toko Merah, tepat di
belakangnya, rumah sederhana dengan cat hijau, umurku duabelas tahun, hobiku
bercerita dan aku ingin jadi temanmu, salam kenal Tod!”, orang itu mirip dengan
Rowan Atkinson, hidungnya mancung dan kulitnya berwarna coklat terang,
rambutnya keatas dengan mata besar.
Tody
tersenyum, melihat kini ia sudah mempunyai satu teman lagi, setelah eri,
seseorang menyahut dari depan, seorang gadis yang duduk anteng di kursinya.
“Aku
Asa, aku tinggal sendiri disini, umurku enambelas tahun, aku pemimpin disini,
setidaknya sampai saat ini, Nyonya Agung akan kemari minggu ini, entah hari
apa, yang pasti minggu ini. Eh, iya, hobiku membaca, dan aku juga ingin jadi
temanmu, salam kenal Tod!”
Tod
sedikit tersentak, disini ternyata ada pemimpin, “Nyonya Agung?”, jantung Tod
terasa berdetak, terengar namanya saja pikirannya sudah mulai kacau, apakah dia
akan menerimanya?Mendengar
jeritan Tod, Asa langsung berdiri, “Iya, dialah yang bertanggung jawab atas
semua yang ada disini, dan aku yang mewakilinya.”
“Tod,
kau tidak tau tentang gerbong ini, bukankah Reta yang mengajakmu, seharusnya
kau tau.”, Eri terperanggah, ia melirik Reta yang masih duduk diam tak
berkutik.
Tod
menggeleng, melirik Reta juga, sekarang Reta sudah hampir terjatuh karena
kepalanya sudah hampir menyentuh lantai.
“Baiklah,
ini adalah gerbong NyonyaAgung, gerbong ini sementara diisi oleh para anak anak
yang suka petualangan, Nyonya selalu memperhatikan jalan, ia selalu menampung
anak anak yang sudah hilang harapan, sepertiku.”, sekarang asa yang menunduk,
seseorang menghampirinya, menepuk pundaknya.
“Kau
tidak perlu mengingatnya, asa.”, katanya pelan.
“Iya
Kai, aku tau.”
Semua
kembali seperti semula, angin sore berhembus masuk lewat celah celah jendela
gerbong, membuat rambut Tod bergoyang. Semua orang disana mengenalkan dirinya
satu persatu, ada Eri, Asa, Kai, Reta, Riza, Ivan, Bagus, dan Tasya. Mereka
tampak baik, beberapa diantaranya dari jalanan, dan tidak sedikit pula yang
ingin berpetualang, walau mereka sudah memiliki kehidupan di rumah mereka.
Hari
bertambah gelap, semua orang mulai bersiap siap untuk tidur, selimut selimut
putih tipis berserakan di lantai, dengan bantal super besar yang empuk. Awalnya
Tod ragu, akankah ia tinggal disini, bersama orang orang lainnya? Ia masih
bingung, ia mulai berbaring, dan memejamkan matanya.
“Tapi
gebong akan semakin penuh, aku tidak bisa berguling guling lagi!”, sebuah suara terdengar samar samar di luar
gerbong, sepertinya suara laki laki. Mata Tod tertutup, tapi ia masih bisa
mendengarnya.
“Kau
tidak punya rasa kasihan? Dia anak yang baik!”, kali ini perempuan, nadanya
terdengar tinggi, tampaknya mereka sedang bertengkar.
“Dia
baru sehari disini, bagaimana kau tau dia anak yang baik?”
“Aku
telah bersamanya sekitar tiga hari, mungkin dia tidak berbuat hal yang
menyenangkan untukku, tapi dia tidak melakukan hal aneh padaku! Ia memberiku
makan, dia yang menolongku saat aku tertabrak mobil sialan itu.”
Kali
ini suara terdengar sangat sunyi, hanya ada suara jangkrik dan gesekan ranting
ranting pohon yang tertiup angin dan menyentuh jendela luar gerbong kereta.
To be continued :)
Comments
Post a Comment
Komentar anda adalah suatu yang berharga ...