untuk temanku yang sekarang aku tidak tau kemana, Iko.
Iko, semoga kamu masih ingat cerita cerita bersamaku dulu :))
Disebuah desa kecil di suatu kota kecil nan rindang, lumut-lumut kecil berwarna hijau gelap tumbuh di seluruh permukaan dinding tinggi yang sudah tua. Sudah hampir 13 tahun yang lalu, bahkan mungkin lebih, dinding itu masih tetap berdiri.
Aku, Ajeng, yang saat itu masih berumur 4 tahun, berjalan menyusuri gang kecil dengan tembok lumut di ujung gang itu, dengan tangan bergandengan Iko, sahabatku, dan Ibu kandungku, Maria, kami semua berjalan bersama sama untuk sampai di sebuah pra-sekolah di dekat alun alun kota.
-Iko adalah orang yang lucu, dan baik. Rambutnya selalu digundul, membuatku menyebutnya si gundul, tapi aku hanya menyebut nama panggilannya saat kita hanya berdua, aku tidak mau Iko dibully di sekolah karnaku.
Iko adalah satu satunya orang yang menolongku saat aku bermusuhan dengan Vera, saat Vera mengambil mainan ku, Iko dengan sergapnya mengambil kembali mainanku. Iko selalu bersamaku saat aku bermain ayunan. Ia juga membantuku menyelesaikan permainan kartu pertamaku -
Aku, yang masih dengan polosnya melihat lihat ke kanan- dan ke kiri, menyadari dinding lumut itu sudah penuh goresan, tak terkecuali kata kata jorok yang belum aku ketahui saat itu.
“ma, itu bacanya apa,, emm artinya apa?”, kataku sambil emnunjuk sebuah kata kasar.
“itu ngga boleh diucapin, kalo ngucapin ato nulis begituan, nanti lidah kamu dan tangan kamu dipotong sama Tuhan.”, katanya dengan nada yang membuatku ngeri.
“ihhh…”, desis Iko, yang sedari tadi mendengarkan percakapan kami.
Dan aku janji kepada mama, agar tidak aka mengucapkan kata itu, tapi rasa penasaran seorang anak kecil sepertiku dan Iko, tidak bisa membendungnya. Suatu saat di kantin sekolah, saat mama sedang menunggu, di depan sekolah, duduk bersama ibu Iko, dan ibu-ibu laiinya. Dan kami masih berusia sekitar 6 tahun (sekitar kelas 1 sd) Kami mencoba menulis kata kata itu di dinding kantin sekolah.
Kepala sekolah kami, pak Sur, yang saat itu mempergoki kami menulis kata itu, menyerngit dan menghukum kami untuk tidak keluar kelas walau sedang jam istirahat. Mungkin itu kedengarannya mudah, tapi ayunan besar yang bergelantungan di samping ruang kepala sekolah, seraya meneriakkan nama kami untuk datang ke ayunan itu.
Tapi apa boleh buat, pak Sur, menjaga ketat kami, sambil menceramahi kami.
Huh, ini gara gara dinding lumutan itu, batinku.
Dan hal itu membuat kami kapok, tapi masalah tulis menulis di dinding lumut itu sama sekali tidak luput dalam kegiatan kami. Tapi yang membuat kami bingung adalah, setiap 1 minggu, tulisan tulisan kami hilang secara misterius, awalnya kami berfikir Harry Potter menghapus tulisan tulisan kami, tapi setelah guru olahragaku, pak Ir, mengatakan bahwa lumut selalu terus bertambah, makanya semua kalimat yang kita tulis bakalan hilang. Aku terhenyak saat mendengar kalimat panjang itu.
Dan kami semua tertawa.
Saat kami mencapai kelas 3 sd, kami sedang dalam pelajaran cita cita, dengan guru pembimbing bu Ira, kami satu persatu ditanya apa cita cita kami. Iko, dengan lantangnya ingin menjadi seorang polisi. Sedangkan aku, ingin menjadi penyayi. Sepulang sekolah, kami langsung menghampiri dinding lumut itu.
‘Aku pengen jadi polisi. Iko’, tulisnya.
Dan aku hanya memperhatikannya, aku tidak ingin menulisnya disana, kupikir jawabanku masih kurang tepat, suaraku yang nge-bass sepertinya tidak menyakinkanku untuk menjadi penyanyi.
Dan saat itu kami berjanji, akan menggapai cita cita kami, sampai kapanpun.
Dan yang membuat aku bingung juga, (sampai hari ini) adalah, tulisan Iko, sama sekali tak ditumbuhi lumut lagi, malah tulisan itu bagai tulisan abadi, memanjakan mata setiap orang yang lewat.
Dan saat kami naik kelas 4, aku sadar Iko sudah tidak bersama ku, lagi. Aku bahkan tak tau ia kemana. Aku selalu ingin bertanya tenatng hal ini, tapi aku takut kalau mereka tidak tau.
Ada yang bilang Iko sekarang sudah pindah ke kota lain, sekolah baru, dan parahnya ada yang bilang Iko sudah meninggal karena kanker.
Dan aku masih berdoa, semoga Iko jadi seorang polisi.
Sekarang aku sudah kelas 2 SMP, dan aku yakin dengan cita citaku, menjadi seorang sutradara.
Jadi, aku pergi ke dinding itu, dan menulis cita cita ku disana. Persis dibawah tulisan Iko.
‘aku ingin jadi seorang sutradara. Ajeng’
Comments
Post a Comment
Komentar anda adalah suatu yang berharga ...