Skip to main content

Samantha Wisley : Aryan (part3)


Sam terbeku sesaat, sampai mark kecil bediri dan memeluk pria itu, “ayah, ini tanteh Sam.”
“Oh, dokter itu ya?”, kata pria itu mendekati Sam, “yang dipaksa oleh ‘aryan’ untuk mengganti warna kulit?”
Sam menggangguk ragu, “tidak sepenuhnya benar sih.”
Ayah Mark menggangkat alisnya sebelah. Buru buru Sam menyaut, “tidak ikut bergabung dengan orang orang,Mr. Feehily?”
Pria itu tertawa, “ngapain orang asing ngundang sang pemilik rumah?”
Sam terdiam, melihat pria dan anaknya berjalan menuju ke semak semak. Terlihat mark kecil yang tersenyum kebelakang, sambil menenteng bola kuningnya.

Kemudian Sam kembali ke kerumunan, bersama lima orang kekarnya.
“Lagi cari cowok, Sam?”, kata Kevin –salah satu dari lima orang kekar-
Sam menendang kaki Kevin kuat kuat dan mengambil kentang bakar.
“Aku nggak cari cowok, Kevin. Cowok yang lagi cari aku.”, kata Sam dengan mulut penuh dengan kentang.
Kevin tertawa dan berhenti sejenak, “tunggu … memang siapa yang mau sama kamu?”, katanya kemudian berdiri dan berlari menjahuinya.

sam melirik Kevin sebentar lalu melanjutkan makannya, sambil berhitung. Ia hanya diberi waktu 3 hari untuk menyerap semua informasi, sampai akhirnya dinas dinas mau memasuki wilayah tersebut. Tapi, apakah warga disini mau menerima mereka? Bagaimana kalau bangsa putih yang akan datang akan ditolak mentah mentah oleh mereka? Sam hanya bisa menunggu, meyakinkan mereka dengan caranya sendiri, tapi tentu saja dengan bantuan kelima kesatrianya tersebut.

Kevin kembali ke samping Sam sambil ngos ngosan, “kok nggak ngejar aku sih?”
Sam hanya menarik nafas pelan pelan, dan menggelengkan kepalanya.
Kevin duduk di sampingnya dan menyipitkan matanya, “eh denger tuh.”
“Saudar saudariku, kami akan pergi berburu mala mini! Biarkan Tuhan memberi kita daging yang segar!”, kata seorang pemuda di sebrang api unggun. Sam mengangkat bahunya sambil melihat Kevin, kemudian mengangkat jempolnya tinggi tinggi sambil tersenyum.
..
Keesokan harinya, langit tak begitu cerah. Awan abu abu menari nari di angkasa, bersama capung capung hijau yang terbang tanpa arah. Menandakan akan ada badai besar. Sam sebernanya berniat untuk bermain bersama anak anak disana, tapi apa daya, hujan akan turun. Musim telah berubah, mungkin.

Para wanita desa disana masuk secara tiba tiba di tenda Sam, sambil membawa semangkok penuh arang yang sudah ditumbuk halus, dan sebuah pisau unik.
“Kami akan meriasmu nona.”, kata salah satu wanita disana tersenyum, “cucilah wajahmu dulu.”
Sam merasa orang orang disini memiliki budaya yang hampir sama dengan  orang orang Indian. Wajah mereka dipenuhi gambar gambar, dan rambut mereka terbelah menjadi dua, dan disekitar mata mereka, penuh dengan arang.
Wanita wanita disana berjumlah lima orang. Semua memiliki bagian masing masing di tubuh Sam. Mulai dari sekeliling mata Sam yang akan diberi arang. Pengecatan rambut dengan mengkudu yang baunya luar biasa, dan cara penyisiran rambut yang benar benar menyakitkan. Sam hanya bisa duduk diam dengan kaki yang kesemutan disana.

Pelan pelan wanita tersebut mengambil batang halus kecil yang sudah dilumuri arang basah, kemudian digesekkannya pada kelopak mata Sam yang putih. Kontras sekali. Memang menyakitkan, tapi Sam terlihat lebih cantik dengan arang tersebut.

Bentar penulisnya juga mau nyoba ….
Udah …

Kemudian mereka mengambil banyak sekali buah mengkudu, mengupas kulitnya dan diperas. Perasan tersebut kemudian disiram ke rambut Sam yang pirang. Well, sebenarnya buah mengkudu itu benar benar berhasil, tapi Sam hampir pingsan dengan baunya.
Rambut Sam yang semula pirang menjadi merah tua. Matanya lebih terlihat lebar, dan wajahnya dipenuhi tattoo. Mulai dari gambar lingkaran dan garis, sampai yang rumit, seperti gamabr abstak ciptaan pelukis pelukis jama dahulu.
Wanita wanita disana tersenyum –beberapa tertawa- melihat Sam yang sudah dirias, lengkap dengan baju khusus yang dibuat oleh mereka, lebih longgar, dan sedikit gatal.
Sam sudah selesai dalam tahap periasan. Kemudia ia keluar dari tenda dengan diiringi suara tepukan tangan dari teman temannya.
Sam tersenyum lebar saat Emma dan adiknya ikut menepukkan tangan mereka. Ia merasa seperti seorang princess yang barusan menikah dengan pangeran kodok. Dibawa oleh kereta labu dengan ibu peri dan tikus tikusnya. Hal yang Sam benar benar impikan selama lebih dari sepuluh tahun menjadi seorang dokter.
Setelah orang orang selesai mengelu elukannya. Sam membantu para wanita desa memasak, sambil menunggu hewan buruan. Dan lagi lagi disini memang benar benar keterlaluan. Tak ada panci atau kompor yang digunakan untuk memasak, yang ada hanya kayu bakar dan serabut serabut bamboo yang mudah terbakar. Sam sekarang merasa seperti seorang princess yang sedang mencari pangeran kodoknya, tersesat di alam purba.
Tapi mendingan lah, perutnya yang sudah meronta ronta ingin diisi akan berhenti berdemo. Pria muda disana baru pulang dari berburu dan membawa banyak sekali bawaan.
Sam hampir tak percaya ini. Semalaman penuh mereka berburu dan baru tengah hari pulang. Desa ini benar benar tak kenal lelah.

“daging babi, rusa, eh apa ini?”, Sam memilah milah daging yang masih merah mencolok di depannya.
“buaya, yang kau pegang itu ular.”
Sam sudah terbiasa kalau dalam hal makanan. Apapun bisa dicernanya. Pernah suatu ketika saat ia mau pergi ke paris menggunakan kapal, ia memakan sepatu boot milik ayahnya, saking kelaparannya. Kenapa? Mesin kapal rusak dan radionya mati, Sam dan para krunya mengambang di laut lebih dari dua minggu!
“Kita bisa simpan yang ini,”, Sam menganggkat biji bijian yang masih basah terkena embun pagi, “dan kita akan masak biji irlandia ini.”
Sam mengambil batok kelapa dan mengisikannyha air, kemudian segala sayur dan biji dimasukkannya ke batok kelapa tersebut.
Wanita wanita yang lainnya memanggang daging dan mencari kayu bakar lagi, dan para gadis menyiapkan ‘piring’

Orang orang disini sudah paham betul dengan pembagian tugas antara pria dan wanita. Semua adil dan tertata rapih. Nggak ada yang diperbudak, dan nggak ada yang dipertuan.
Kemudian Sam mengumpulkan orang orang disana, sambil menunggu masakannya matang.
Piring piring sederhana buatan para gadis desa diletakkannya satu persatu dihadapan mereka semua, kemudian meniriskan biji bijian dan sayur ke atas daun yang luar biasanya lebar, kemudian wanita di sebelah Sam menyiramnya dengan saus buah merah.
Sambil berebut, mereka semua mengambil sayuran tersebut, hingga tersisa sedikit. Sam sempat mengambil beberapa tadi, dan memasukkannya ke dalam mulutnya yang sudah gatal.
“Saus buah merah itu yang terbaik.”, kata Kevin bebarengan dengan teman temannya yang bergumam.
Makanan pembuka sudah, dan saatnya daging rusa panggang disajikan. Asap yang masih menggepul gepul membuat Sam harus berulang ulang mengemut jarinya yang melepuh.

Setelah makan siang selesai, Sam kembali ke tendanya, dan membuka catatan.

26 Februari 1985
Entahlah, mungkin sudah sore, disini nggak ada jam.

Desa Tohota’ adalah desa yang kuat dan kompak.
Orang orang disini ramah semuanya. Aku tadi dirias, jadi sangat cantik, kayak putrid, deh.
Tapi perlu perjuangan juga, sakit sekali waktu batang halus tersebut menggesek kelopak mataku. Rasanya seperti ditatto, bedanya hanya orang orang disini memakai bahan yang lebih tradisional.

Pria pria disini juga ngganteng dan kekar. Merek a bisa tahan nggak makan semalaman, pergi berbur dan pulang setelah keesokan harinya. Gadis gadis disini wajahnya tak kusam maupun jerawatan. Jelas, disni belum ada produk kosmetik berbahan kimia yang aneh aneh.
Jadi orang orang disini sangat awet muda.
Aku tadi bahkan nggak bisa ngebedain, mana ibu dan mana anaknya.

Orang orang disini pakaiannya juga keren. Sepertinya terbuah dari serat tumbuhan. Aku tak menemukan katun di sini. Mungkin sutra, ya disini ada sutra. Tapi hanya kepala desa yang hanya boleh memakainya.
Mereka bilang kain dari serat ulat sutra itu diciptakan di surge dan diturunkan ke dunia lewat ulat.

Oh iya, besok aku sudah harus kembali ke markas besar. Michael tampaknya sudah menungguku.
Aku harus mencari leih banyak informasi. Gelas Master Doktor itu benar benar harus aku raih.

Sam sedang ditenda sekarang, membereskan barang barangnya. Sesaat kemudian seorang gadis kecil masuk ke dalamnya, “tabit yang baik?”
“Oh, hai Emma, ada apa?”
“Mark bilang kau bisa membangkitkan bolanya, bolanya kan sudah mati, trus dihidupin lagi. Itu hebat loh.”, jelas Emma dengan senyuman khas anak kecil.
“Haha iya iya.”, Sam membalas senyumannya.
“Kalau begitu, Miss. Bisa nggak hidupin ibu lagi?”
Sam merubah ekspresinya, ia tidak menyanggka, Emma yang masih sekecil ini sudah ditinggal orang tuanya. Sam tak bisa memmbayangkan hidup tanpa ibu. Entahlah, sulit hidup tanpa ibu.
“Aku nggak bisa hidupin manusia. Cuman bisa bola?”, Sam mengelus rambut emma, “maafin aku yah?”
Emma mengganguk, bibirnya dimajukan sedikit. Ia tampaknya kesal.
“Tapi aku janji.”, kata Sam, “bakal beri kamu ibu yang baru.”

Setelah persiapan yang lumayan lama, Sam mengangkat bawaannya dan berpamitan.
“Nona Wisley tak bisa tinggal lebih lama?”, tanya sang kepala desa, dengan pandangan sedih.
“Tuan Rumah yang baik hati. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu.”, kata Sam mencoba merangkai kata kata, “saya akan kembali lagi, suatu hari nanti. Aku hanya ingin tanya, boleh aku mengajak kawan kawanku, se-ras denganku?”
“Mereka Aryan?”
“mereka sama denganku.”

Sang kepala desa menggangguk sedih. Wanita wanita disana sudah menitikkan air mata, salah satu dari mereka membawakan bekal untuk Sam. Dan Emma memberikan sebuah kalung dari kerang.
Sam dengan berat hati harus kembali, sebelum akhirnya masuk ke dalam hutan Sam emlambaikan tanggannya, dan pergi pulang.

“Mereka adalah orang orang yang sangat baik, bukan?”, tanya Kevin yang memimpin perjalanan di saat itu.
“Sangat baik, aku menyukai orang orang disana. Ramah, dan baik.”
“Harusnya salah satu dari cowok disana memberikanmu kenang kenangan.”
Sam mengangkat dagunya, “kalung ini dibuat oleh seorang pemuda dan saudarinya.”
“Itu kan yang buat Mark. Duh, maksudku, ya cowok, cowok seumuran sama kamu, tertarik sama kamu. Bukan anak kecil.”
“Yang penting dapet kenang kenangan lah.”
“Yang didepan bisa cepat sedikit?”, seseorang dari belakang berkata, “aku pengen cepat cepat pulang nih.”
Perjalanan pulang itu lebih mudah daripada pergi. Sam sudah lumayan hafal dengan tanaman apa saja yang ada disana. Dan ia masih bersyukur karna ia sedang pakai sepatu, bukan highheels.
..
Sam meregangkan tubuhnya saat sampai di markas, melihat sekeliling yang masih tetap sama seperti tiga hari yang lalu.
Michael sedang memberikan segelas coklat hangat pada anak anak pada saat Sam menghampirinya, Michael tersenyum dan menganggat tangannya.
“Bagaimana kabarmu, dok??”
Sam menepuk telapak tangan Michael yang terbuka, “aku merasa selusin lebih baik daripada tadi.”
“Hari yang panjang bukan?”
“Tiga jam lebih, cukup melelahkan.”

Michael mengambil gelas bercorak polkadot merah di samping termos, dan memberikannya pada Sam, “hari hari ini sering hujan.”
Sam mengangguk, “ngomong ngomong, informasiku sudah cukup?”
Michael mengahadap ke atas, mencoba mengingat sesuatu, “kupikir cukup untuk meyakinkan dinas pemerintahan.”

“Apa itu artinya aku tak diperlukan lagi? Dan …. Lulus? ”, kata Sam tersenyum lebar lebar.
“Enak saja.”, Michael menyerngit, “kau harus kesana lagi.”
“Katamu sudah cukup informasi.”
“Apakah kau tau bahwa desa kumuh tersebut akan dilanda gempa bumi?”, kata Michael dengan mata yang dilebar lebarkan.
“Hah?? Kapan??”, sam setengah terkejut saat itu.
Michael memegang dagunya, “entahlah, pokoknya pergeseran lempeng akan terjadi di sekitar situ.”

Sam memandang ke depan, khawatir dengan Emma dan adiknya yang masih di desa itu.
“Aku harus kembali ke sana. Aku akan menyelamatkan mereka.”

“Teannglah dok, gempanya nggak kenceng  kok. Mungkin cuman sebentar. Gempanya nggak bakal menimbulkan kerusakan yang parah kok.”, jelas Michael sedikit menenangkan Sam. Tapi masih tersebesit di fikirannya. Desa tersebut dekat dengan pantai, kan?

..
Dua hari setelahnya Sam kurang tidur, ia terus menerus khawatir tentang masalah itu, sampai akhirnya ia pulang ke London, menelfon orang tuanya, dan Thomas.
“Jemput aku sayang! Aku di bandara … aku tunggu dah.”, sam sangat rindu dengan supir taksi tersebut, sudah hampir seminggu tidak bertemu dengannya.
Sesaat kemudian, sebuah mobil kuning khas taksi melaju pelan di depan Sam, jendela taksi terbuka dan seorang pria muncul dari dalam mobil, “halo, nona cerewet.”
“Halo manis, apa kabarmu?”, Sam masuk ke dalam mobil sembari Thomas mengangkat barang barangnya dan menaruhnya di bagasi belakang mobil.
“Aku sedang dalam mood yangkurang bagus, Miss.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Aku punya seorang kenalan yang sok dekat denganku, dan orang itu cerewet sekali.”

..
“Apa kau akan ke Irlandia lagi nanti?”, kata Thomas, sembari berdoa agar hal itu tak terjadi.
“Tentu saja!,”, Thomas menghembuskan nafas panjang, “aku akan pergi lagi ke sana dan bertemu dengan Emma dan adiknya.”
“Kau tau mereka sudah tak memiliki ibu, dan sebenarnya  aku tak menyukai cerita ini tapi oh, bisa aku minta tissue?”
Thomas tetap mengarahkan pandangannya ke depan sambil memberikan box tissue di depannya. Thomas benci saat ini, ia lebih memilih pulang dan tiduran daripada harus mendengar celotehan Sam, tapi menurutnya, cerita Sam mengalami peningkatan, jadi ia memilih mendengarkannya sedikit.
“Aku akan melanjutkannya,”, kata Sam setelah membuang ingusnya, “sebntar air mataku keluar lagi.”
Thomas hanya bisa memutar matanya dan melihat ke depan.

Comments

Popular posts from this blog

Tragedi Duaratus Rupiah

Minggu, 25 November 2012 Kalau bukan karena Fani yang ajak aku ke bioskop satu satunya di kotaku, mungkin aku ngga bakal jantungan cuman gara gara uang koin. Waktu itu musim hujan, walau tidak hujan, awan hitam bagai atap rumah dunia, pekat sekali. Dan bikin aku sukses mandi keringat, belum lagi aku harus mengayuh sepedah beserta beban seorang Fani di belakang, sudah begitu jarak antara rumah dan bioskop kurang lebih, hhmm... yah sekitar dua kilometer.  Sampai ditengah jalan, atau lebih tepatnya seperempat perjalanan, aku baru ingat sesuatu, ini hari Minggu kan?? Nah, masalahnya jalan raya persis depan gedung bioskop ditutup, karena seperti biasa H**da mengadakan event balap motor di area tersebut. Ngga mau nyerah, aku masih lanjut kesana, walau sambil mikir sih.  Ta daaa!! Sampailah kami pada ujung jalan yang tertutup banner idiot yang kebalik tulisannya. Kurang lebih isinya adalah tiket masuk nonton balapan. Setelah (akhirnya) Fani turun dari sepedaku, kam...

My Acne Story

Hai semua, langsung aja ya aku mau share ke kalian skin care aku selama ini. Fyi, semenjak SMP kelas 3 aku sudah kena masalah kulit yaitu jerawat, walaupun masih kecil-kecil jadi gak begitu ganggu makanya aku biarin aja, nah baru deh SMA baru kotar katir kebingungan hehe. Ini foto waktu awal Februari 2018, jerawat lagi parah parahnya. Jerawatnya besar, merah, meradang, lama banget kempesnya, dan waktu kempes jadi item banget. Jelek gitu ish. Sudah lumayan banyak produk yang sudah aku pakai dan hasilnya kurang memuaskan :( dan akhirnya di akhir tahun 2018 akhirnya kulitku bisa sangat jauh mendingan dan jerawat cuman muncul saat lagi menjelang haid atau lagi stress berat, itupun cuman 1 atau 2. Trus sekarang aku pakai apa aja untuk merawat wajah unyuku ini? Pagi hari, biasanya aku langsung minum air putih segelas biar bener bener bangun, trus kalau misalnya hari sabtu atau hari libur atau misalnya ga ngapa ngapain seharian, biasanya aku gak cuci muka pakai sabun, bila...

Hujan Bintang

Suatu hari yang dingin, seorang gadis kecil berjalan sendirian, sambil makan sepotong roti. Seorang wanita tua mendekatinya dan memninta sedikit makanannya. Tanpa ragu, gadis kecil itu memberikan semua sisa rotinya. "Ambil saja.", katanya dan terus pergi. Tidak lama kemudian, gadis itu bertemu anak lelaki kecil yang memegangi kepalanya dan menangis. "Ada apa?", tanyanya. "Aku kedinginan, sangat kedinginan," tangis anak lelaki itu. "Aku tidak punya penutup kepala." Jadi gadis itu emmberinya selendang untuk membungkus kepalanya. Sedikit lebih jauh lagi, ia bertemu gadis kecil alinnya bahkan tidak memakai jaket, jadi ia memberikan jaket yang dipakainya,  Lalu ia memberi gaunnya pada gadis lain yang tidak punya, dan ia terus berjalan tanpa bagju.  Akhirnya ia hanya memakai pakaian dalamnya. Tapi kemudian gadis miskin lain datang padanya  dan berkata: "kau selalu bisa pulang kerumah yang hangat.  Aku tidak punya apa apa untuk menghangatkan...