Skip to main content

Penyakit dari Kath - 1


Ok, ini bentuk protesku pada pak Smith yang tidak menceritakan pengalaman Kath dan kel. Salvator saat jadi bangsawan dulu, jadi kupikir aku bisa membuat cerita sendiri, untuk melengkapi bagian cerita yang sudah selesai itu. Nah, bagi penggemar The Vampire Diaries, mungkin tau siapa itu Kath, tapi tak tau asala usulnya, jadi aku ceritakan menurut versiku.


Walau judulnya agak ngaco, tapi mungkin bisa dimengerti lah, karna intinya Kath lah yang pertama kali berbuat onar, jadi aku beri judul itu saja, bagi yang mau menyumbangkan ide judul bantu yah, terimakasih


Genre : flashback (ciyehh)
Tokoh utama: Stefan Salvator, Damon Salvator, Elena Gilbert, Katherine Forbes.


Penyakit dari Kath


Burung gagak besar sama sekali tak bergerak, matanya tepat tertuju pada seorang wanita lemah di kasur lembut, matanya mengeluarkan setitik air, terlihat bagai berlian.


Wanita itu mengerang, seperti menahan sakit di perutnya, memegang dahinya yang mulus, dan mulai bangun. Gagak itu berbunyi, bernyanyi tepatnya, terlihat senang dengan kepakan sayap hitam.


Gagak itu mulai mendekat ke arah jendela, mengetuk kaca bening dengan paruh hitamnya yang mengkilap, seperti tamu yang ingin masuk.


Elena yang baru sadar mulai membuka tirai jendela yang tipis, menyadari gagak itu terus mengetuk jendela kamarnya.


“Masuk masuk masuk.”, katanya.


Gagak itu mulai terbang masuk, makin lama sayap indahnya berubah, seiring dengan tubuhnya, menjadi seorang lelaki tampan dengan mata hitam, bagai ruang diantara bintang.


“Aku minta maaf”, erangnya. Tangannya mengusap lengan Elena, dengan lembutnya, seraya menghapus noda merah di buku kehidupan. “Aku bisa menyembuhkanmu.”


Elena terdiam lama, pikirannya tak menentu, sesaat dia tidak mengerti apa yang Damon katakan, luka dari Kath sudah lama sembuh, dan barulah ia sadar dengan luka abadinya. Luka yang deberikan oleh Stefan.


“Jika kau menyembuhkanmu aku akan menjadi abu, seperti Kath.”, jelasnya. Tangannya masih bergetar mengingat kejadian beratus ratus tahun yang lalu, saat malam itu, malam paling menakutkan dalam hidup Elena.


***


Itu sudah sangat lama sekali, pikirnya. Dia seorang putri bangsawan, gaunnya selalu menutupi kaki jenjangnya, dan rambutnya terurai rapi di punggungnya, saat itu cuaca sedang dingin, Elena sedang berada di teras, bersama dengan dengan temannya, mengambil lembut sebutir gula dan dimasukkannya ke dalam cangkir tehnya.


“Mau tambah gulanya nona?”, suara itu datang dari belakang, lembut dan menggoda. Elena berpaling, mencoba mengabaikan suara tadi.


Suara kursi berdecit membuat telinga Elena sakit, matanya tertuju pada sendok tehnya yang masih terdapat sisa gula yang menempel. Tidak banyak yang bisa dilihat Elena, mata Stefan terlalu indah baginya.


Begitu polos, kekanak kanakkan, itulah  Stefan, umurnya saat itu tidak jauh dengan Damon, kakaknya yang saat itu juga menghampiri mereka, dengan balutan baju petani yang rapi, dengan tatapan mata yang tajam.


Damon nyaris lebih tampan dari Stefan, tapi sifatnya yang dingin membuat Damon bukan menjadi sasaran para gadis. Damon datang, menganggkat tangan kanan Elena dan mengecupnya. Stefan terlihat risih oleh kehadiran Damon, tapi Stefan yakin ia masih bisa lebih baik dari pada kakaknya.


“Kau tampak pucat nona.”, pekik Damon, melihat wajah Elena yang memutih, tak seperti salju, tapi putih.


“Aku tidak seperti wanita lainnya, memakai pemerah pipi dan bibir, aku tidak biasa memakainnya.”


“Tidak perlu”, pungkas Stefan. “Kau masih terlihat cantik.”


Damon takjub, jujur saja, dengan gombalan Stefan. Mungkin bisa sedikit dipelajari, pikirnya. Damon sama sekali tidak tau cara mendekati wanita secantik Elena


Mereka duduk bersama, bertiga, di tengah dinginnya angin sepoi sepoi, emngibaskan rambut Elena yang kecoklatan, membuat aroma parfum wood menyebar kemana mana. Damon menutup mulut dan hidungnya, ia tidak terbiasa dengan parfum, alkoholnya sangat memngganggu.


Sebaliknya Stefan, yang masih memperhatikan Elena, mengambil nafas panjang, dan meniupnya kembali. Itu tidak baik, pikir Damon.


Tangan Elena mulai terangkat member sinyal pada para dayangnya untuk meninggalkan mereka semua.


“Apakah aku harus pergi juga?”, Damon kembali bertanya, sangat halus, seraya tidak ingin mengganggu ketenangan Elena. Kakinya sudah terangkat, bersiap untuk pergi. Elena mencegah, “Tetap disini.”


Hari bertambah sore, cangkir teh sudah mulai dingin, membuat Elena enggan menyentuhnya. Dari tadi mereka diselimuti oleh kesunyian, hanya ada suara nafas mereka yang terdengar.


“Aku harus memilih.”, Elena menyeringai, memainkan sendok tehnya yang sudah dingin pula.
Dipandangnya satu persatu. Ini serius, pikirnya. Mereka sama sama baik, cukup mapan, dan berjiwa sama. Tapi Elena tau ini akan menjadi hal yang sulit, memilik antara Damon dan Stefan membuat Elena kewalahan.


Stefan memandang Elena tajam, “aku sudah siap.”, katanya.


Elena tidak yakin, justru terkejut dengan ucapan Stefan tadi, tapi ia segera melihat damon, wajahnya hampir sama pucat dengan wajahnya, matanya tampak pasrah, sederajat dengan acuh tapi sedikit mengerti.


Damon tidak kuat lagi, duduk bersama orang yang tidak mencintainya sungguh menyakitkan. Dan akhirnya ia bangkit meninggalkan Elena dan Stefan di tengah angin sore yang menusuk.


Tinggal kita berdua akhirnya, pikir Stefan. Ia mulai mendekat, menggeret kursinya kea rah Elena, lebih dekat, dan lebih dekat.


“Aku belum meng-iya-kanmu”, ejek Elena, menyadari seberapa dekat ia dengan Stefan.
Stefan mengelak, menarik kepalanya kembali ke posisi semula. Mereka tidak bertatapan, tapi Stefan yakin Elena sedang berfikir.


Elena mulai mencerna semua yang dilihatnya kemarin. Di jendela itu, di kamar itu. Waktu ia sedang berjalan jalan dengan para dayangnya.


Stefan bersama Kath, si gila itu. Stefan sedang tidur, pikir Elena. Elena berusaha keras untuk mengingat kejadian itu. Kath mendekati Stefan tanpa ragu, dan Stefan sama sekali tidak bergerak -itulah tanda Stefan sudah terlelap- Kath embawa sebuah belati, belati perak, tepatnya.


Elena dengan cepat berfikir bahwa Kath akan membunuh Stefan, dugaannya salah. Elena langsung mengendap endap, mengangkat tangannya memberi perintah agar para dayangnya segera pergi. Elena mulai merinding, Kath naik ke ranjang, membuka kancing atas Stefan, dan .... menggigitnya.


Kurasa itu sangat sakit, pikir Elena. Belati yang dibawa Kath masih tersimpan di tangan kirinya. Elena langsung terkejut, mulai bersiap meneriakkan kata katanya.


"Ssshh...", itu Damon, seraya menutup mulut Elena dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang tangan Elena yang gemetar.


Kath mulai bangkit dari ranjang Stefan, memperlihatkan giginya yang berlumuran darah, Stefan tiba tiba terbangun, menyentak Kath sehingga Kath terpental ke tembok.


Kath terus melawan, diambilnya belati miliknya dan digoreslah tangannya sendiri, membuat aliran darah mulai mengalir.


"Minum ini.Kalau tidak kau mati.", katanya cepat sebelum Stefan mendorongnya lagi.


Stefan mengerang, lehernya terasa sakit. Seraya mencoba mendorong Kath, tapi ia tidak mampu, tangannya mulai pucat dan tanpa ia sadari ia meminumnya. Cairan lengket berwarna merah itu.


Elena mulai menangis, Damon yang sedari tadi mendekap erat Elena tak tau harus bagaimana. 
Damon menyerah, Elena dari tadi terus bergerak tak mau diam. Damon terpaksa harus menggendong elena menuju ruangan pribadinya.


Damon berlari, membawa serta Elena, memeluknya sambil menangis, ketakutan dan gemetar.
Elena menarik nafas panjang, setelah di kamar pribadinya, dan mulai bernafas tak karu karuan. Kepalanya pusing, dan wajahnya mulai pucat.


Damon duduk di samping Elena, memegang pundaknya yang ikutan gemetar, membiarkan kepala Elen di pundaknya.


"Sudah tidak apa apa.", singkatnya.


***


Stefan menggoncang tubuh Elena, membuat Elena terkejut setengah mati dan sedikit menjerit.
"Kau tak apa apa?", tanya Stefan khawatir, kepalanya mendongak ke arah Elena. Baju kerahnya tampak terbuka, mungkin Stefan lupa mengancing bagian atasnya, pikir Elen.


Elena bisa melihat dua lubang kecil di leher Stefan, membuat Elena bergidik. Elena mulai gemetar, "Aku harus pergi."


Elena tidak bisa menahan tangisnya, selama perjalanannya ke ruang pribadinya terasa sangat lama, pandangannya mulai kabur karna air matanya. elena takut dan bimbang. Ia tidak ingin seperti Kath, gadis belia yang cantik dan gila.

Damon and Stefan Salvatore



Elena Gilbert

Comments

Popular posts from this blog

Tragedi Duaratus Rupiah

Minggu, 25 November 2012 Kalau bukan karena Fani yang ajak aku ke bioskop satu satunya di kotaku, mungkin aku ngga bakal jantungan cuman gara gara uang koin. Waktu itu musim hujan, walau tidak hujan, awan hitam bagai atap rumah dunia, pekat sekali. Dan bikin aku sukses mandi keringat, belum lagi aku harus mengayuh sepedah beserta beban seorang Fani di belakang, sudah begitu jarak antara rumah dan bioskop kurang lebih, hhmm... yah sekitar dua kilometer.  Sampai ditengah jalan, atau lebih tepatnya seperempat perjalanan, aku baru ingat sesuatu, ini hari Minggu kan?? Nah, masalahnya jalan raya persis depan gedung bioskop ditutup, karena seperti biasa H**da mengadakan event balap motor di area tersebut. Ngga mau nyerah, aku masih lanjut kesana, walau sambil mikir sih.  Ta daaa!! Sampailah kami pada ujung jalan yang tertutup banner idiot yang kebalik tulisannya. Kurang lebih isinya adalah tiket masuk nonton balapan. Setelah (akhirnya) Fani turun dari sepedaku, kam...

My Acne Story

Hai semua, langsung aja ya aku mau share ke kalian skin care aku selama ini. Fyi, semenjak SMP kelas 3 aku sudah kena masalah kulit yaitu jerawat, walaupun masih kecil-kecil jadi gak begitu ganggu makanya aku biarin aja, nah baru deh SMA baru kotar katir kebingungan hehe. Ini foto waktu awal Februari 2018, jerawat lagi parah parahnya. Jerawatnya besar, merah, meradang, lama banget kempesnya, dan waktu kempes jadi item banget. Jelek gitu ish. Sudah lumayan banyak produk yang sudah aku pakai dan hasilnya kurang memuaskan :( dan akhirnya di akhir tahun 2018 akhirnya kulitku bisa sangat jauh mendingan dan jerawat cuman muncul saat lagi menjelang haid atau lagi stress berat, itupun cuman 1 atau 2. Trus sekarang aku pakai apa aja untuk merawat wajah unyuku ini? Pagi hari, biasanya aku langsung minum air putih segelas biar bener bener bangun, trus kalau misalnya hari sabtu atau hari libur atau misalnya ga ngapa ngapain seharian, biasanya aku gak cuci muka pakai sabun, bila...

Mobil Baru, ya Pacar Baru (ending)

Hari ini harus udah bisa pegang stir, gumam Shane, mengingat pelajaran konyol yang diberikan Jodi kemarin. Kian seoerti biasa menyisir rambutnya serapi mungkin, dan hari ini kian menambahkan sejenis gel rambut di rambut pirangnya, pelan pelan sekali sampai mata shane mulai terkatup. “Ki, uda belom.??”, jerit Shane dari depan teras, tangannya sudah membawa helm kesayangannya. “Bellomm, dikit lagi … “, balas suara dari dalam kamar. Shane terus menunggu, dilihatnya jam kecil terlilit di tangannya, jam tiga lebih limapuluh Sembilan menit. Wah gawat, Mark dan adiknya akan meninggalkan mereka kalau mereka tidak segera berangkat. Shane menjerit sekali lagi, “Cepetannn kii!!!”, dan jawaban yang sama pun terdengar, “belom, dikit lagi.” Shane sudah tidak sabar lagi, diambilnya kunci sepeda motor di dekat kursi teras, dimasukkannya pada lubang kunci dan dinyalakannlah mesin motor, “jreeennggg….”, suaranya menggelegar, membuat Kian yang sedang berdandan terkejut. Kian langs...